Awal tahun lalu (2011), susu sempat jadi perkara heboh. Ini gara-gara
hasil riset Institut Pertanian Bogor (IPB) yang bocor ke publik. Hasil riset
itu bilang, ada 59 merek susu formula yang mengandung bakteri enterobacter sakazakii (E-Sakaskii).
Bakteri ini, katanya, bisa timbulkan penyakit radang selaput otak hydrocephalus kanker darah.
Tentu saja kaum bapak resah, ibu apalagi. Bagaimana tidak, separuh anak
Indonesia sudah menjadi penikmat susu formula. Maka DPR pun angkat suara, “pemerintah
dan IPB mesti segera umumkan merek susu tercemar,” desak orang-orang pilihan
rakyat itu. Mereka tak mau separuh anak Indonesia penyakitan. Ini bakal
mengganggu proses regenerasi bangsa.
Tapi pemerintah mangkir. Entah kenapa yang dipublikasikankan justeru 47
daftar susu yang tidak tercemar bakteri, sembari menghimbau, "Jangan minum susu formula kalau bayi
belum enam bulan. Karena bayi usia itu berisiko," kata Menkes, enteng. Bagusnya,
entah karena himbauan ini mujarab atau tidak, konon banyak suami mulai
merelakan susu isterinya diemot sang
anak.
Kawan saya coba menduga-duga sebab-musabab mengapa pemerintah enggan
mempublikasikan merek susu yang tercemar bakteri itu. Pertama, bisa merugikan perusahaan susu; kedua, bisa mengurangi tingkat konsumsi susu. Kalau sudah begitu,
berarti ekonomi nasional bisa terganggu. Padahal saat ini saja, Indonesia sudah
tercatat sebagai bangsa yang tingkat konsumsi susunya terendah di Asia,
hanya 11,09 liter per kapita per tahun.
Kalah dari Filipina yang mencapai 22,1 liter per kapita per tahun.
Itu fakta tingkat konsumsi “susu sungguhan”, yang formula atau yang
segar, sama saja. Tapi kalau bicara “susu akronim,” Indonesia justeru negeri
yang tingkat konsumsinya tergolong tinggi. Paling tidak ada tiga jenis susu
akronim yang paling digemari anak negeri dari rupa-rupa kalangan.
Pertama, “Susu Perawan”. Ini
susu yang mulai didoyani publik Indonesia, tiga tahun terakhir. Tak terkecuali
komisioner KPK. Saya juga merekomendasikan agar generasi muda meminati susu
perawan. Mengapa? Karena cerminan kuat semangat Pancasila. Karena merefleksikan
solidaritas dan tanggung jawab sosial anak bangsa. Karena “susu perawan” adalah
akronim (singkatan) dari “sumbangan sukarela sebagai perasaan setia kawan”.
Koin untuk Prita, koin cinta Bilqis, dan terakhir koin untuk KPK, sekedar
contoh jenis susu perawan.
Kedua, “Susu Janda,” kalau
dipanjangkan menjadi “sumbangan sukarela jelang pilkada”. Dari kepanjangannya
saja, sudah bisa diduga, penikmat susu ini banyak tentu para kandidat Gubernur,
Bupati atau Walikota, wabilkhusus incumbent.
Di Sulteng, produsen terbesar susu janda, menurut gosip warung kopi, berasal
dari kalangan pengusaha sawit dan tambang. Jika benar adanya, susu janda tentu
saja tidak elok dinikmati, karena bakal merusak tatanan politik elektoral. Sebuah
malapetaka demokrasi.
Ketiga, “Susu Nenek”. Ini juga
sejenis susu kegemaran putra-putri pertiwi yang lagi menjabat dimana saja.
Padahal, susu ini setali tiga uang dengan susu janda, perlu dihindari. Bukan
karena kebanyakan nenek cenderung berstatus janda sehingga disebut setali tiga
uang, tetapi karena memang dampak susu nenek juga berbahaya bagi kelanggengan
demokrasi. Malah ada yang bilang sebagai biang kemiskinan rakyat Indonesia. Itulah
sebabnya pemerintah membuat aneka macam aturan untuk mengurangi tingkat
konsumsi susu nenek. Bahkan sebuah institusi berjudul KPK dibuat untuk
keperluan itu, tapi celakanya tingkat konsumsi nenek belum turun-turun juga.
Lantas, apa urusannya KPK dengan susu nenek? Tentu saja sangat
berhubungan, karena susu nenek dimaksudkan sebagai singkatan dari “sumbangan
sukarela nekat-nekatan”. Suap, gratifikasi, korupsi atau sebangsanya, termasuk
dalam kategori susu nenek ini.
Itulah tiga susu akronim kegemaran anak negeri. Mau
ditambah lagi sebenarnya boleh. Tergantung bisa-bisa kita saja. Misalnya “susu
ibu,” bisa dipanjangkan menjadi “sumbangan sukarela iuran bulanan. Tentu saja
ini kewajiban bagi manusia-manusia yang terdaftar sebagai anggota organisasi.
Misal lainnya, “susu tante” yang bisa dijadikan akronim dari “sumbangan
sukarela tanpa tekanan”. (tioncamang)